Cerita Atmosfer Vulkanik Sepak Bola Afrika
Piala Afrika 2021 berpotensi mempertemukan kembali wakil wilayah barat dan utara di partai final. Jika mampu mengalahkan tuan rumah Kamerun di babak semifinal, Mesir --wakil wilayah utara yang sudah tujuh kali menjuarai Piala Afrika -- akan menantang wakil wilayah barat yakni Senegal atau Burkina Faso. Tapi jika Mesir gagal, duel sesama tim Afrika barat akan terjadi di partai puncak nanti.
Persaingan tim wilayah utara dan barat di perhelatan dua tahunan ini memang bisa dibilang berlangsung ketat. Dalam dua edisi terakhir, final Piala Afrika selalu diisi oleh pertarungan antara wakil barat dan wakil utara. Pada final Piala Afrika 2019 lalu, Aljazair berhasil keluar sebagai juara dengan mengalahkan wakil barat, Senegal, lewat kemenangan tipis 1-0.
Sebelumnya giliran wakil barat, Kamerun, yang keluar sebagai juara pada pentas Piala Afrika 2017. Kamerun yang posisi wilayahnya sebenarnya berada di irisan antara wilayah barat dan tengah Afrika itu, memenangkan partai final dengan mengalahkan tim favorit Mesir dari utara. Kamerun menang dengan skor ketat 2-1.
Mesir pun mencetak hattrick Raja Afrika dengan mengalahkan wakil-wakil dari wilayah barat. Pada final 2006, The Pharaohs mengalahkan Pantai Gading 4-2 dalam adu penalti. Didier Drogba, bintang Pantai Gading yang saat itu sedang bersinar-sinarnya bersama Chelsea, menjadi salah satu pemain yang gagal dalam eksekusi penalti.
Dua tahun berselang, Mesir kembali menjadi juara dengan kembali mengalahkan wakil wilayah barat di partai final. Mesir kali ini menang tipis 1-0 dari Kamerun
Pada 2010, Mesir akhirnya mencetak hattrick juara Piala Afrika dalam tiga periode berturut-turut. Di partai final, mereka menyudahi perlawanan Ghana dengan skor 1-0.
Dominasi Utara
Persaingan ketat antara wakil wilayah utara dan wakil wilayah barat tidak hanya terjadi di level timnas di pentas Piala Afrika. Jika ditarik ke level klub, perseteruan antara wilayah Afrika bagian barat dengan utara ini terjadi di pentas Liga Champions Afrika.
Klub-klub utara sangat mendominasi pentas Liga Champions Afrika. Al Ahly, klub ternama Mesir, masih memegang rekor sebagai tim yang paling banyak menjadi juara. Pasukan Raksasa Merah, julukan bagi Al Ahly, tercatat sudah sepuluh kali menjuarai Liga Champions Afrika.
Di posisi kedua, ada klub Mesir lainnya yakni Zamalek yang sudah lima kali menjadi juara Liga Champions Afrika. Dua klub utara lainnya, ES Tunis (Tunisia) dan Raja Casablanca (Maroko), masing-masing menjadi juara sebanyak tiga kali dan empat kali.
Bagaimana dengan klub-klub dari wilayah barat Afrika? Hanya ada dua klub asal wilayah barat, Hafia FC (Republik Guinea) dan Canon Yaounde (Kamerun), yang mampu bersaing dengan sama-sama tiga kali menjadi juara Liga Champions Afrika.
Atmosfer Vulkanik
Andrew Randa punya jawabannya kenapa klub-klub wilayah barat kalah jomplang dari klub-klub wilayah utara. Menurut jurnalis Nigeria itu, utara mendominasi Liga Champions Afrika karena faktor ‘atmosfer vulkanik’ yang selalu memanaskan pertemuan tim dari kedua wilayah tersebut.
‘’Ada faktor ketakutan dan mental blok ketika kebanyakan tim-tim wilayah barat terbang ke wilayah utara Afrika,’’ kata Randa dalam wawancara yang dikutip mail&guardian.
‘Atmosfer vulkanik’ tersebut merupakan imbas dari pengaruh Eropa. Pada akhir 1990an, pengaruh gerakan suporter ultra mulai menyusup dari Eropa ke Afrika utara. Hasilnya, kelompok-kelompok suporter yang terorganisir, mulai membuat koreografi nyanyian, menampilkan tifo dan melakukan perjalanan ribuan kilometer ke pertandingan tandang.
Kelompok ultra pertama kali muncul di Tunisia dan Maroko, lalu menyebar ke Mesir dan Aljazair. Dan sejak itu, pertandingan di kandang tim utara seperti bermain dalam ‘atmosfer vulkanik’ yang panasnya melecut motivasi tim tuan rumah, tapi sebaliknya mengintimidasi tim tamu.
Pelatih Mamelodi Sundowns F.C (Afrika Selatan), Pitso Mosimane, punya pengalaman mendapat intimidasi ketika tampil tandang di Aljazair. ‘’Persoalan besar Afrika utara adalah masalah intimidasi,’’ kata Mosimane. ‘’Saya masih ingat pemain saya saat itu berlari sambil dilempari botol dari atas tribun penonton. Bagaimana anda bisa bermain tenang dengan kondisi seperti itu?’’
Dalam leg kedua final Liga Champions Afrika 2016 di kandang Zamalek (Aljazair), pemainnya mendapat ancaman pembunuhan. ‘’Ada banyak ancaman yang dikirimkan ke pemain yang memiliki Instagram, Facebook atau Twitter. Mereka semua mendapat ancaman pembunuhan,’’ ujarnya.
Sundowns saat itu akhirnya kalah 0-1 dari Zamalek. Tapi, mereka tetap juara setelah sebelumnya memenangkan leg pertama dengan skor telak 3-0.
Kini perseteruan utara dan barat berpotensi tersaji di level timnas di final Piala Afrika 2021. Moga-moga tidak ada atmosfer vulkanik yang membuat pertandingan berjalan tidak normal. Semoga saja.